Kini aku duduk sendirian lagi
dekat jalur hijau tanaman di dalam tempat yang berbeda bernama sekolah.
Meskipun sekolah ini bukan tempatku bersekolah, aku selalu merasa takjub saat
memandang arsitektur bangunannya. Aku tahu aku bukanlah seseorang yang pakar
dalam bidang arsitektur, tetapi itulah yang kurasakan. Dibandingkan
sekolah-sekolah tempat aku belajar dahulu, kualitas bangunannya di atas mereka.
Menurut banyak orang, bangunan sekolah dan universitas milik swasta Kristen atau
Katolik pasti mempunyai bangunan yang baik.
Itulah
sebabnya aku jauh-jauh datang ke sini untuk menikmati pemandangan yang ada
dalam benak sekolah ini. Orang lain akan menganggap tindakanku itu buang-buang
waktu. Namun, apa salahnya mengunjungi suatu bangunan berkualitas tinggi.
Setiap kelas
ini mempunyai air conditioner dan memiliki bangku-bangku terpisah seperti di
sekolah internasional dan memberlakukan sistem moving class seperti di kuliah. Sekolah ini melingkupi Sekolah
Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Wah, memang cukup
mengesankan. Walaupun begitu, aku tidak (mau) tahu urusan administratif di
sekolah ini.
Aku pun jadi
teringat suatu social gap dan
diskriminasi yang sempat terjadi di sekolah-sekolahku terdahulu. Kelas-kelas yang
dilengkapi dengan fasilitas mewah seperti air
conditioner, infocus, bangku-bangku terpisah, wallpaper dinding, dan
komputer khusus selalu dimiliki oleh kelas-kelas unggulan, terpilih atau
akselerasi. Sedangkan, kelas-kelas selain itu seperti ruangan-ruangan tua yang
kurang diurus. Bangku-bangku penuh vandalisme berwarna putih dari correction pen, kolong bangku yang penuh
sampah, dinding tua yang memajang coretan dan jejak sepatu kotor, dan papan
tulis putih yang mulai menguning menjadi saksi bisu saat murid-murid mengimba
ilmu.
Oleh karena
itu, teman-temanku di sekolah dulu sempat iri karena mereka tidak mendapatkan
hak yang sama dengan mereka yang duduk di kelas unggulan dan akselerasi. Selain
itu, tahun angkatanku yang pertama kali mengalami suatu audisi untuk menjadi
murid kelas unggulan. Semacam percobaan untuk menjadi sekolah berstandar
nasional (masih ingat RSBI dan SBI yang mengacaukan sistem pendidikan di
Indonesia), sebutlah begitu. Perubahan pasti menimbulkan pro dan kontra dari
lingkungan sekitar dari perubahan berdampak baik sampai buruk, bukan?
“Bukankah kita
seharusnya memerhatikan kualitas pendidikannya? Kualitas bangunan bukanlah
prioritas sistem pendidikan yang baik.” Pendapat ini juga tidak bisa dikatakan salah.
Saranku sih
sistem pendidikan Indonesia harus meniadakan kelas-kelas unggulan dan
akselerasi seperti yang telah dilakukan oleh negara Finlandia yang menempati
posisi nomor satu dalam urutan negara-negara yang memiliki kualitas pendidikan
terbaik sebab semua anak sebagai murid mempunyai hak dan kewajiban yang sama
rata. Aku teringat suatu kutipan yang aku lupa siapa pemilik dari kutipan
tersebut. “Sekolah harus diperlakukan seperti taman kota. Semua orang dapat
mengakses tempat tersebut dan mendapatkan pengalaman yang berkesan.” Jangan
lupa untuk menggarisbawahi “semua orang”.
Bagaimana
menurut kalian? Apakah sekolah-sekolah di Indonesia harus membubarkan kelas
unggulan dan kelas akselerasi yang dilengkapi fasilitas mewah sedangkan
kelas-kelas reguler tidak bisa menikmati fasilitas tersebut?
Current song: Suede – What Are
You Not Telling Me?