Wednesday, March 27, 2013

The Rights to Enjoy School's Facilities

Kini aku duduk sendirian lagi dekat jalur hijau tanaman di dalam tempat yang berbeda bernama sekolah. Meskipun sekolah ini bukan tempatku bersekolah, aku selalu merasa takjub saat memandang arsitektur bangunannya. Aku tahu aku bukanlah seseorang yang pakar dalam bidang arsitektur, tetapi itulah yang kurasakan. Dibandingkan sekolah-sekolah tempat aku belajar dahulu, kualitas bangunannya di atas mereka. Menurut banyak orang, bangunan sekolah dan universitas milik swasta Kristen atau Katolik pasti mempunyai bangunan yang baik.

Itulah sebabnya aku jauh-jauh datang ke sini untuk menikmati pemandangan yang ada dalam benak sekolah ini. Orang lain akan menganggap tindakanku itu buang-buang waktu. Namun, apa salahnya mengunjungi suatu bangunan berkualitas tinggi.

Setiap kelas ini mempunyai air conditioner dan memiliki bangku-bangku terpisah seperti di sekolah internasional dan memberlakukan sistem moving class seperti di kuliah. Sekolah ini melingkupi Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Wah, memang cukup mengesankan. Walaupun begitu, aku tidak (mau) tahu urusan administratif di sekolah ini.

Aku pun jadi teringat suatu social gap dan diskriminasi yang sempat terjadi di sekolah-sekolahku terdahulu. Kelas-kelas yang dilengkapi dengan fasilitas mewah seperti air conditioner, infocus, bangku-bangku terpisah, wallpaper dinding, dan komputer khusus selalu dimiliki oleh kelas-kelas unggulan, terpilih atau akselerasi. Sedangkan, kelas-kelas selain itu seperti ruangan-ruangan tua yang kurang diurus. Bangku-bangku penuh vandalisme berwarna putih dari correction pen, kolong bangku yang penuh sampah, dinding tua yang memajang coretan dan jejak sepatu kotor, dan papan tulis putih yang mulai menguning menjadi saksi bisu saat murid-murid mengimba ilmu.

Oleh karena itu, teman-temanku di sekolah dulu sempat iri karena mereka tidak mendapatkan hak yang sama dengan mereka yang duduk di kelas unggulan dan akselerasi. Selain itu, tahun angkatanku yang pertama kali mengalami suatu audisi untuk menjadi murid kelas unggulan. Semacam percobaan untuk menjadi sekolah berstandar nasional (masih ingat RSBI dan SBI yang mengacaukan sistem pendidikan di Indonesia), sebutlah begitu. Perubahan pasti menimbulkan pro dan kontra dari lingkungan sekitar dari perubahan berdampak baik sampai buruk, bukan?

“Bukankah kita seharusnya memerhatikan kualitas pendidikannya? Kualitas bangunan bukanlah prioritas sistem pendidikan yang baik.” Pendapat ini juga tidak bisa dikatakan salah.

Saranku sih sistem pendidikan Indonesia harus meniadakan kelas-kelas unggulan dan akselerasi seperti yang telah dilakukan oleh negara Finlandia yang menempati posisi nomor satu dalam urutan negara-negara yang memiliki kualitas pendidikan terbaik sebab semua anak sebagai murid mempunyai hak dan kewajiban yang sama rata. Aku teringat suatu kutipan yang aku lupa siapa pemilik dari kutipan tersebut. “Sekolah harus diperlakukan seperti taman kota. Semua orang dapat mengakses tempat tersebut dan mendapatkan pengalaman yang berkesan.” Jangan lupa untuk menggarisbawahi “semua orang”.

Bagaimana menurut kalian? Apakah sekolah-sekolah di Indonesia harus membubarkan kelas unggulan dan kelas akselerasi yang dilengkapi fasilitas mewah sedangkan kelas-kelas reguler tidak bisa menikmati fasilitas tersebut?

Current song: Suede – What Are You Not Telling Me?

Saturday, March 23, 2013

Loneliness >< Togetherness



Hari ini aku memutuskan untuk iseng pergi jalan-jalan sendirian karena telah lama aku tidak jalan-jalan sendirian. Setelah memasuki universitas dan berteman dengan orang-orang keren berlatar belakang yang beraneka ragam, aku menjadi sering bersenang-senang dengan mereka, misalnya makan siang bareng, mengerjakan tugas bersama, bermain game bersama, kemana-mana sering bareng, bahkan tak jarang kita akan saling berbagi pengalaman masa lalu. Setelah setengah jam bermain di Game Master Ciwalk hari ini, aku merasa ada yang hilang.

Something’s missing.

Kemudian, aku merasa sungguh sendirian dan gelisah. Lalu aku sadar, aku selalu tertawa dan menjahili teman-teman saat bermain game walaupun aku hanya bersama dengan satu orang. Sekarang, aku hanya bisa duduk termangu dan melihat orang-orang tertawa bersama teman, keluarga atau kerabat mereka. Dulu, aku justru menikmati kesendirian dan menganggap kalau jalan-jalan bersama itu merepotkan karena harus berunding ingin pergi ke mana dahulu dengan beberapa orang yang mempunyai tujuan tempat yang berbeda-beda.

Kupikir itu salah satu hal yang aneh. Ternyata tidak. Persepsiku mengenai kebersamaan berubah karena kebiasaan dan keadaan sekitar. Namun, tolong garis bawahi bahwa persepsi yang berubah itu hanya berada dalam konteks jalinan pertemanan. Kalau masalah berusaha untuk mendapatkan nilai akademis yang baik, kita tak selamanya bisa bergantung pada bantuan teman. Selain itu, kita harus mempunyai prinsip agar tidak terjerumus ke dalam perilaku negatif yang dilakukan oleh teman kita beratasnamakan solidaritas.

Ups, aku tidak akan membahas musuh karena kita diajarkan untuk berbuat baik kepada sesama dan kepada pencipta kita. Jika ada teman yang sampai melukai hati kita karena masalah, usahakan tetap berkepala dingin dan segera luruskan masalah tersebut dengannya. It’s always easier said than done, but it’s not wrong if we try and keep doing it, right?

Walaupun begitu, ingat bahwa pada akhirnya kita akan menjadi sendiri, terutama saat kita sedang menjalani dunia kerja, rumah tangga, atau menghabiskan masa tua.