Friday, February 21, 2014

Tanggapan atas "Sekolah Terbodoh Sedunia vs Sekolah Juara Olimpiade Internasional"

Siang ini saat aku membuka Facebook, aku melihat ada dua teman yang menge-share suatu postingan di Kompasiana.com berjudul "Sekolah Terbodoh Sedunia vs Sekolah Juara Olimpiade Internasional". Aku tertarik untuk membacanya dan bergegas mengeklik link-nya (dapat dibaca di sini)

Inti dari postingan itu sih tentang reputasi pendidikan Indonesia yang terburuk di dunia karena Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 65 negara pada hasil test Matematika dan Sains yang diselenggarakan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2013. Padahal 20% dari APBD dialokasikan untuk dana pendidikan. Walaupun begitu, Indonesia telah banyak memenangkan olimpiade Matematika dan Fisika. Tetapi, menurut penulis, peserta olimpiade kebanyakkan dari sekolah-sekolah yang itu-itu saja dan kemudian penulis mempromosikan suatu sekolah swasta terkenal di Jakarta yang memiliki sistem pembelajaran yang lebih baik. Lalu, postingan tersebut diakhiri dengan kalimat, "Hasilnya: mencetak anak-anak terbodoh sedunia sebagai penerus generasi bangsa."

All of those facts are alright and I already checked them on Wikipedia and Google. Saran penulis untuk terus memperbaiki pendidikan Indonesia juga benar dengan memberikan contoh suatu sekolah swasta. However, apakah data-data yang didapatkan oleh penulis cukup untuk menyimpulkan bahwa Indonesia mempunyai kurikulum terbodoh sedunia? Apakah benar Indonesia menempati peringkat terbawah? Pertanyaan-pertanyaan itu yang membuatku sampai iseng-iseng main ke BBC hanya untuk mengecek keakuratan tes PISA (artikel BBC dapat dibaca di sini).

Jawaban para ahli adalah mereka meragukan tes ini sebagai patokan utama kecerdasan anak-anak dari suatu negara. Soal yang diberikan oleh PISA sama, tetapi jawaban masing-masing anak dapat berbeda, tergantung budaya, persepsi, bahasa, bahan yang telah diajarkan, kondisi fisik dan mental saat itu, dll.. Sebenarnya, kecerdasan itu kualitatif dan terkadang sistem pendidikan dalam suatu negara itu tidak merata. So, yeah, I dare to say she was too quick to judge everything. Aku tidak bermaksud untuk berkelit menghadapi kritikan pedas tersebut. Aku hanya mempertanyakan apakah suatu tes bisa menjadi jawaban bagi segalanya. Lagipula, penulis pun tidak jelas dalam menuliskan hasil tes PISA tahun keberapa saat Indonesia menempati peringkat terbawah.

Banyak banget X Factors yang pengen aku omongin masalah sekolah negeri dan swasta, budaya, dll. Saat hampir mencapai akhir postingan, aku membaca suatu kalimat yang terasa getir di pikiran. "Membuat anggaran belanja buku 40%-50% lebih mahal dari harga buku." Kalau dibaca sekilas, hal itu memang ga adil. Tapi, ceritanya bakal lain kalau pembaca mengerti kehidupan dan penghasilan guru sekolah negeri yang sekolahnya gratis dan guru itu ga dapat tunjangan dari pemerintah. Dia pasti harus putar otak dong untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Aku memaklumi hal itu dan it's okay selama harga belanja buku terjangkau oleh murid-muridnya. Berbeda dengan sekolah swasta yang bayarannya sudah jelas.

Akhir kata, kita harus diplomatis dalam mengutarakan pendapat agar pendapat kita tidak terkesan memaksa, berlebihan, dan tidak melukai perasaan orang lain. Intinya mah menyampaikan pesan kepada lawan bicara atau pembaca dengan cara yang etis hehehe.

Wednesday, February 19, 2014

George Orwell's 1984 Review

Pertama-tama, aku bersyukur bisa beli novel brilian ini pada bulan Januari lalu. Novel ini bisa tergolong susah banget untuk dicari di toko-toko buku impor di Indonesia karena buku ini belum diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Selain itu, novel ini juga bertema komunis dan tirani jadinya (menurut aku sih) belum ada publisher yang mau menerbitkan novel terjemahannya. Cara aku bisa ngebeli novel ini juga aneh banget, kayak yang kebetulan gitu. Waktu itu, aku ga ada niat sama sekali buat pergi ke Bandung Indah Plaza, tetapi gara-gara salah naik angkot, aku malah turun dekat BIP dan memutuskan untuk pergi ke sana. "Siapa tahu ada 1984 di lantai dasar," pikirku. Lalu, voila! Banyak kopian 1984 berjejer rapi di dekat pintu masuk toko buku Books & Beyond.

1984 ini adalah salah satu novel tentang dystopian world yang terkenal dan dinilai sebagai suatu prophecy bagaimana menciptakan suatu dunia yang dikendalikan penuh oleh pemerintah yang totalitarian. Novel ini pada intinya menceritakan seorang lelaki bernama Winston Smith yang jatuh cinta pada Julia dan bagaimana mereka berdua survive untuk memperjuangkan cinta mereka dalam suatu negara bernama Oceania. Di Oceania, falling in love atau making love itu illegal kecuali untuk melahirkan keturunan saja. Setiap gerak-gerik masyarakat Oceania diawasi oleh telescreen dan siapapun yang membangkang peraturan pemerintah akan dihukum atau di-unperson. Unpersoning adalah proses menghilangkan eksistensi seseorang dan segala dokumentasi yang mengandung orang tersebut seolah-olah orang itu ga pernah lahir ke dunia ini. Sounds Stalinism so much?

Novel ini keren banget sumpah, a must-read novel. 1984 ini ibarat percampuran Stalinism, communism, dan dictator, serta settingnya lebih sadis daripada settingnya The Hunger Games. Kadang-kadang ngeri juga seandainya ada negara kayak gitu sekarang. Yah, bisa dibilang North Korea mendekati soalnya ada unsur the cult of personality (seorang pemimpin yang harus selalu dihormati, ga peduli dia itu udah membuat kejahatan berkali-kali atau nggak), limited entertainment, dan hobinya perang terus.

Overall, 1984 itu salah satu novel yang wajib dibaca. Alur novelnya ga terlalu roller-coaster, tapi twistnya bikin orang membelalakkan mata. Akhir kata, it would so freaking horrible to see George Orwell's prophecy in 1984 come true.