Tuesday, August 11, 2015

Mission: Impossible – Rogue Nation Review

"Desperate times, desperate measures, Sir."



Film ini merupakan film action perdana yang kutonton dua kali berturut-turut di bioskop. Aku sering berpendapat bahwa film bertema action jarang bisa dinikmati lebih dari sekali karena plotnya yang kadangkala sederhana dan action sequencenya yang sangat intens sampai harus mengatur napas karena tegang (contoh Mad Max: Fury Road). Berbeda dengan film-film yang pembawaan plotnya santai atau film yang penuh dengan misteri pelik seperti Interstellar dan Memento, aku telah menonton Interstellar sampai empat kali dan tidak pernah merasa bosan. Aku pun memutuskan untuk menikmati Mission: Impossible yang ke-5 karena Tom Cruise tidak menyewa double stunt ketika ia melakukan adegan berpegangan pada pintu pesawat terbang di ketinggian 5000 kaki. Teman-temanku pun menjuluki Tom Cruise sebagai Jackie Chan-nya Hollywood.

Mission: Impossible – Rogue Nation menceritakan misi baru Ethan Hunt (diperankan oleh Tom Cruise) untuk membasmi sebuah organisasi kriminal bernama The Syndicate yang telah berhasil membuat kekacauan di sejumlah kawasan dunia. Seperti biasa di awal setiap film Mission: Impossible, Ethan Hunt diberikan voice message tentang ringkasan misi barunya dan voice message tersebut akan meledak dalam hitungan lima detik. Yang membuat rutinitas itu berbeda di film ini adalah voice message itu bukan datang dari organisasi IMF tempat Ethan Hunt bekerja, melainkan dari The Syndicate itu sendiri. Pada momen yang bersamaan di negara yang berbeda, IMF secara resmi dibubarkan karena dinilai telah melanggar aturan ketika IMF melaksanakan beberapa misi terakhir. Berbagai misi pun diserahkan kepada CIA dan CIA akan tanpa lelah mencari keberadaan Ethan Hunt. Bersama rekan-rekan dekat Ethan Hunt, mereka pun berambisi untuk menghancurkan pilar The Syndicate dan ketuanya yang bernama Solomon Lane (diperankan oleh Sean Harris) tanpa bantuan siapapun. Di tengah misi yang sedang berlangsung, Ethan Hunt bertemu dengan Ilsa Faust (diperankan oleh Rebecca Ferguson), seorang anggota The Syndicate yang juga mengambil peran sebagai double spy untuk badan intelijen Inggris. Ilsa Faust memiliki tujuan sama seperti Ethan Hunt yaitu mengincar Solomon Lane.

Banyak orang yang menilai bahwa plot Mission: Impossible – Rogue Nation tidak seseru predesesornya, tetapi karakter-karakternya lah yang membuat film ini patut diacungi jempol. Salah satu karakter yang paling tidak terduga di depan mata penonton adalah Ilsa Faust. Tidak ada satupun yang tahu kepada siapakah Ilsa akan berpihak hingga penghujung film. Rasanya Ilsa yang malah menjadi peran protagonis di film ini dibandingkan Ethan hahaha. Meski begitu, aku pun salut pada sikap Ethan yang konsisten dan setia dengan rekan-rekannya. Benji (diperankan oleh Simon Pegg) hadir dengan lawakan yang lebih kocak dan lebih badass. Hanya sayangnya, William Brandt (diperankan oleh Jeremy Renner) kurang mendapat porsi action dibandingkan film sebelumnya. Namun, aku maklumi hal itu karena William diawasi ketat oleh CIA sehingga hanya bisa mengontrol aktivitas Ethan Hunt dan rekannya dari jauh. Antagonisnya juga tidak kalah cerdik. Tidak perlu baku tembak di akhir film hingga salah satu pihak meregang nyawa, hanya dengan menyusun strategi di penthouse mampu membuat tim Ethan hampir frustrasi.

Dari segi adegan, action sequence yang ditawarkan tidak berlebihan, tetapi masih bisa dinikmati oleh penonton secara antusias. Acara kejar-kejaran motor, pegangan pintu pesawat, dan menyelam selama tiga menit membuat penonton was-was. Sekali lagi, tidak ada double stunt untuk Tom Cruise. Jadi, mari kita semua mengangkat topi untuk aktor yang satu ini. Akhir kata, film ini direkomendasikan untuk ditonton di bioskop.

*plays Mission: Impossible Theme*

Ah, one of the movie's themes that will be everlasting.

Monday, July 13, 2015

Happy Together Review

"Turns out that lonely people are all the same." 


Aku akhirnya tergugah untuk menulis review film yang satu ini. Film ini merupakan film Hongkong pertama yang melibatkan adegan hubungan seksual antara dua pria secara eksplisit. Happy Together yang dirilis pada tahun 1997 dapat disebut sebagai salah satu masterpiece yang pernah dibuat oleh Wong Kar-Wai. Aku harus mengangkat topi kepada Wong Kar-Wai serta dua aktor yaitu Leslie Cheung dan Tony Leung, yang berani memerankan dua tokoh utama. Sekilas, film ini identik dengan Brokeback Mountain yang dibintangi oleh Heath Ledger dan Jake Gyllenhaal karena sama-sama bertema gay. Namun, aku lebih menyukai Happy Together dibandingkan dengan Brokeback Mountain setelah aku menonton film ini. Happy Together menceritakan hubungan yang jauh lebih kompleks dan depressing dibandingkan yang dimiliki oleh Brokeback Mountain. Jadi, judul film ini sangat ironis dan benar-benar berbanding terbalik dengan plot yang ditawarkan.

Happy Together memperkenalkan dua tokoh utama yang sedang menjalin hubungan yaitu Ho Po-Wing (diperankan oleh Leslie Cheung) dan Lai Yiu-Fai (diperankan oleh Tony Leung). Mereka bercita-cita untuk mengunjungi Air Terjun Iguazu yang berlokasi di Argentina dan mereka pun berkelana ke negara yang beribukota Buenos Aires. Namun, hubungan mereka ternyata tak seindah yang penonton bayangkan. Mereka seperti lampu remang yang berkedap-kedip kehabisan daya listrik, on-off relationship alias putus-nyambung. Ho dan Lai terlibat konflik dan mereka memutuskan untuk berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing di Buenos Aires. Lai bekerja di suatu bar untuk menyambung hidup dan menyisihkan uang bekal pulang ke kampung halamannya yaitu Hongkong. Berbeda dengan Lai, Ho menjelajahi perjalanan asmaranya lebih jauh dengan mendekati orang-orang Argentina yang memiliki orientasi seksual yang sama. Lai lama-lama jenuh dengan hubungan tanpa visi serta misi ini. Lai pun bertemu dengan seorang lelaki lain yang dapat membuatnya tersenyum bahagia bernama Chang (diperankan oleh Chang Chen). Dari titik ini, masing-masing kehidupan Ho dan Lai membentuk dua sudut yang saling bertolak belakang.

Penjelasan hubungan Ho dan Lai dapat dibilang realistik. Hubungan yang ditawarkan oleh Brokeback Mountain benar-benar manis sebelum lingkungan menolak dan akhirnya mengkandaskan hubungan mereka. Sedangkan Ho dan Lai tidak ditekan oleh lingkungan sekitar, tetapi perasaan mereka dibuat lelah oleh ketidakcocokkan mereka berdua. Ho dengan mudahnya mengajak Lai untuk memulai dari awal lagi dan melupakan segala cekcok yang telah terjadi di masa lalu, tetapi Ho sudah berkali-kali mengkhianati kesetiaan Lai. Lai selalu jatuh ke pangkuan Ho, terlepas perbuatan yang telah dilakukan Ho terhadap Lai. Meski begitu, Lai juga menyimpan dendam kepada Ho dengan menyembunyikan paspor Ho agar Ho tidak bisa pulang ke Hongkong. Pada akhirnya, mereka pun berpisah dan sempat mengisi kesendirian mereka sendiri dengan mencumbu pria-pria lain. Kompleks? Cek. Membuat frustrasi? Oke. Kesal? Pasti. 

Namun, ada dua adegan yang membuatku terenyuh yaitu pertama, ketika Ho dan Lai saling mendekap satu sama lain dengan kondisi Ho babak belur karena gagal mengembalikan uang yang telah dipinjamnya kepada orang lain. Adegan kedua adalah saat Ho dan Lai menari Tango di dapur apartemen. Menurut banyak reviewer, tarian Tango mereka berdua secara tidak langsung merupakan ilustrasi hubungan Ho dan Lai. Lai yang tidak pandai berdansa, selalu ditegur oleh Ho saat Lai salah mengambil langkah. Lai malah memarahi balik Ho atau dengan pendek kata, arogan. Seiring waktu, mereka berdua akhirnya bisa berdansa selaras dengan tawa dan senyum merekah di bibir, walaupun hanya sebentar saja. Oleh karena itu, di film ini tidak ada peran antagonis, melainkan hanya karakter-karakter yang manusiawi. Hal inilah yang membuat film ini benar-benar berkesan di hati.


Memang plot dari film ini tergolong sederhana, tetapi penonton dapat mengadakan riset iseng terhadap pengembangan karakter yang berlangsung di film ini. Harusnya Wong Kar-Wai memenangkan penghargaan karena membuat terobosan baru yang mencengangkan. Leslie Cheung dan Tony Leung membentuk chemistry antar kedua karakter menjadi cocok. Fun fact: Tony Leung tidak diberitahu oleh Wong Kar-Wai apabila ia akan melakukan adegan intim dengan Leslie Cheung sebelum Tony Leung syuting. Jadi, salut beneran deh kepada dua aktor hebat itu.

Monday, July 6, 2015

The Midnight Sun: Leslie Cheung

Biasanya, aku tidak terlalu memerhatikan film-film produksi Hongkong dan aku pun tidak pernah menjadi fans aktor/aktris Hongkong. Jika salah satu channel televisi sedang menayangkan film Hongkong yang telah di-dubbing dengan bahasa Indonesia, aku sekedar menikmati beberapa adegan yang kaya akan action sequence pertarungan dengan tangan kosong. Selain itu, aku kadang-kadang tertawa terpingkal-pingkal menyimak aksi slapstick para pemeran film komedi Hongkong. Aku menganggap bahwa film-film Hongkong itu hampir setara dengan Bollywood. Sejauh ini, hanya ada satu film Hongkong yang berkesan di hati yaitu Kungfu Hustle yang disutradarai oleh Stephen Chow. Sudah. Tidak kurang, tidak lebih. Film-film Hongkong lain yang telah lalu-lalang tanpa henti di belantika pertelevisian Indonesia, tidak ada yang sanggup mencuri selera filmku yang cukup tinggi.

Mindset-ku mengenai perfilman Hongkong pun banting setir ketika aku mengenal seorang sosok bernama Leslie Cheung.


Melalui salah satu episode Running Man yang berlatar tempat di Hongkong, aku diperkenalkan lagu soundtrack film A Better Tomorrow berjudul Love in the Past Years yang dilantunkan oleh Leslie Cheung. Aku pun iseng mendengarkan lagu orisinilnya di YouTube dan suaranya Leslie Cheung memang indah. Suaranya tidak terlalu keras, tidak terlalu kasar seperti kebanyakan lelaki bernyanyi, tetapi bening dan mengalun. Aku pun memutuskan untuk menonton film A Better Tomorrow untuk melihat aksi lihai Leslie Cheung dalam memerankan seorang polisi muda. Setelah menonton, kuakui Leslie Cheung memang tampan dan anehnya, aku menangkap suatu kesan sensual yang mengerubungi figurnya seperti aura. Apalagi saat Leslie Cheung berpose sembari mengisap sebatang rokok, kesan sensualnya makin menjadi-jadi. He looks like a sassy master, but he's such a mysterious guy.


Selain penampilan dan suara, Leslie Cheung juga sangat multitalenta dan aktingnya pun tidak main-main. Sejauh ini, Leslie Cheung sering memerankan peran protagonis yang sedang mencari jati diri atau protagonis yang sedang merasa kesepian dan hampir depresi. Bahkan, ia dianggap sebagai salah satu aktor Hongkong yang berani mengambil peran seorang pria gay di film Happy Together dengan Tony Leung Chiu-Wai sebagai lawan main. Leslie Cheung sempat menjadi idola di belantara wilayah oriental dan film Farewell My Concubine (film ini sudah di-review di halaman blog ini) sempat dinominasikan di Oscar berkat banyak prestasi dan kerja keras yang salah satunya adalah performa Leslie Cheung.


Tak lama setelah sukses memerankan sebagai seorang pria gay di film Happy Together, Leslie Cheung pun melakukan coming out bahwa dia adalah seorang bisexual pada suatu interview di majalah Time (menurut beberapa narasumber, ia sebenarnya adalah gay). Jujur, pada titik ini, aku sangat salut kepada Leslie Cheung yang mempunyai nyali besar. Ia tak takut untuk menjadi diri sendiri di hadapan publik. Ia tidak merasa enggan untuk menyembunyikan orientasi seksualnya kepada fans dan media. Di daratan Asia, masih sedikit orang-orang yang berani melakukan coming out pada sekitar tahun 90-an. Oleh karena itu, aku sangat menghargai keberanian seorang Leslie Cheung. Akhirnya, Leslie Cheung bisa menjalin hubungan dengan seorang pria lain tanpa harus bermain petak umpet dengan dunia.

Leslie Cheung dan Tony Leung Chiu-Wai di film Happy Together

Namun, sepertinya lingkup publik Hongkong belum siap akan keputusan Leslie Cheung.

Aku sempat membaca berbagai pendapat dari para netizen di Internet, beberapa situs web terkenal, dan pengarang biografi Leslie Cheung tentang perlakuan media terhadap Leslie Cheung pasca coming out. Banyak sekali gosip menyebar yang memojokkan Leslie Cheung. Bahkan, pembawa acara salah satu penghargaan film membuat guyon mengenai kaum gay sembari kamera menyorot Leslie Cheung yang sedang duduk di bangku penonton. Entah karena alasan apa, Leslie Cheung pun sempat tinggal di Kanada untuk beberapa periode, tetapi ia tetap kembali ke kampung halamannya yaitu Hongkong.

Jika tak ada rasa kebahagiaan, semua akan terasa hampa dan tidak peduli seberapa banyak harta yang menggunung di rekening bank atau seanggun apapun penampilan di hadapan deretan kamera. Pada tahun 2003, Leslie Cheung dilaporkan lompat dari ketinggian 24 lantai pada salah satu hotel termasyur di Hongkong. Publik pun diguncang sekali lagi. Setelah diadakan konferensi pers, Leslie Cheung telah lama mengidap depresi dan sempat melakukan percobaan bunuh diri sebelumnya. Menurut pihak manajer Leslie Cheung, ada suatu gangguan dalam otak Leslie Cheung yang memicu penyakit depresi. Meski begitu, banyak orang menduga bahwa Leslie Cheung bunuh diri karena ia sudah tidak tahan pada media Hongkong yang sangat defensif terhadap dirinya. Perlakuan media ini terus berlanjut semenjak pasca coming out hingga di tahun ia mencabut nyawanya sendiri.

Sampai sekarang, Leslie Cheung telah mewariskan berbagai prestasi dan menelurkan inspirasi bagi para penyanyi dan aktor. Ia telah disebut-sebut sebagai bapak pendiri genre musik Cantopop. Leslie Cheung pun terkenal sebagai penyanyi yang menyumbangkan keindahan suaranya bagi soundtrack film yang juga dibintangi olehnya. Akhirnya, aku menobatkan Leslie Cheung sebagai aktor Hongkong favorit. Aku juga ingin berterima kasih kepada Leslie Cheung telah mengenalkan film-film Hongkong yang tak hanya bergenre action, tetapi juga drama hingga film yang bertema LGBT.

Miss you much, Leslie Cheung.

 

Sunday, June 28, 2015

Farewell My Concubine Review

"What does it take to become a star?"


Pada awalnya, aku mengenal film Farewell My Concubine dari salah satu episode acara Running Man yang syuting di Hongkong. Pada game pertama, mereka ditugaskan untuk menjawab kuis seputar belantara perfilman Hongkong. Salah satu dari pertanyaan tersebut mengenai film terkenal yang bertema opera Tionghoa dan jawabannya adalah Farewell My Concubine. Selain Farewell My Concubine, aku juga mengenal sebuah film cult bergenre action hasil besutan John Woo yaitu A Better Tomorrow. Salah satu aktor Hongkong multitalenta bernama Leslie Cheung, sama-sama menjadi peran utama di kedua film tersebut. Prestasi Leslie Cheung yang menjadi motivasiku untuk memburu film Farewell My Concubine yang konon katanya juga amat melegenda. Review-review di berbagai situs web, termasuk Roger Ebert, memberikan rating minimal 4/5 atau 8.5/10 dan film ini sampai dinominasikan Oscar. Fakta lain mengatakan bahwa film ini cenderung membahas homosexuality. Wah, makin penasaran nih buat nonton. Coba saja Leslie Cheung masih hidup hingga kini, ia pasti sudah bisa menembus dunia Hollywood seperti Andy Lau, Chow Yun Fat, Jackie Chan, dan Jet Li.

Farewell My Concubine berceritakan tentang kehidupan dua aktor pemeran opera Tionghoa tradisional bernama Cheng Dieyi (diperankan oleh Leslie Cheung) dan Duan Xiaolou (diperankan oleh Zhang Fengyi). Mereka telah bersahabat semenjak kecil di tempat pelatihan opera yang memiliki didikan yang sangat disiplin. Dieyi dan Xiaolou terkenal lihai memerankan seorang selir dan seorang raja dalam opera bertajuk 霸王别姬 (The Hegemon-King Bids Farewell to His Concubine). Kisah pertemanan mereka pun semakin intim hingga seorang perempuan bernama Juaxian (diperankan oleh Gong Li) mulai menjalin asmara dengan Xiaolou. Selain itu, eksistensi mereka sebagai aktor opera tradisional diuji oleh perang dan revolusi yang terjadi di Tiongkok selama puluhan tahun.

Farewell My Concubine berdurasi hampir tiga jam dan kuakui bahwa ini adalah salah satu film drama yang benar-benar intens bagiku. Film ini juga membahas secara singkat tentang sejarah yang telah diukir di daratan Tionghoa dari era 20'an hingga 70'an. Mulai dari penjajahan Jepang hingga pemerintah tirani yang menganut paham komunis, banyak nyawa tak berdosa yang telah menjadi korban. Setelah diperhatikan kembali, film ini tidaklah berfokus pada homoseksualitas yang melingkari hubungan Dieyi dengan Xiaolou. Farewell My Concubine menitikberatkan kehilangan identitas Dieyi yang menjadi feminim karena terus menerus berlatih dan memerankan menjadi seorang selir. Dieyi tidak pernah berkesempatan memerankan seorang tokoh laki-laki karena Dieyi telah 'divonis' oleh pelatihnya bahwa Dieyi cocok menjadi seorang perempuan. Selain kehilangan identitas maskulin, Dieyi juga merupakan anak yang dibuang dan hanya Xiaolou yang peduli kepada Dieyi di tempat pelatihan opera. Oleh karena itu, Dieyi amat menyayangi Xiaolou.

Secara keseluruhan, Farewell My Concubine merupakan salah satu film Mandarin yang masterpiece dan film ini pantas masuk nominasi Oscar. Aktingnya Leslie Cheung yang sangat mengkhayati dan cerita pedih yang disuguhkan menjadi dua pilar penting. Ironisnya, film hebat ini sempat dilarang tayang di daratan Tiongkok karena menceritakan sejarah Tiongkok mengenai revolusi komunis yang ingin menghilangkan opera tradisional. Akhir kata, film ini wajib untuk ditonton dan film ini memang berkesan di hati.

Saturday, May 30, 2015

Ergo Proxy Review

"Cogito ergo sum. I think, therefore I am."


Sudah lama aku tidak menonton sebuah seri anime sampai selesai dan sampai browsing di internet hanya untuk mencari informasi mengenai seri anime tersebut. Seingatku, anime yang paling terakhir kunikmati adalah Ghost in the Shell. Ghost in the Shell adalah salah satu anime yang legendaris dan menginspirasi sutradara The Matrix. Dari Ghost in the Shell, aku mulai mengenal anime yang bernama Ergo Proxy. Menurut para netizen dan fans Ghost in the Shell, Ergo Proxy sangat highly recommended karena memiliki tema dan alur cerita yang hampir sama dengan Ghost in the Shell. Aku belum melanjutkan menonton Ghost in the Shell semenjak libur semester lalu. Untuk melepas penat sehabis menjalani semester ini, aku iseng mencicipi Ergo Proxy.

Holy hell. Wow.

Episode pertama berhasil memancing rasa penasaranku terhadap anime ini. I love this! Ergo Proxy menawarkan tema steampunk, psychological, filosofi hidup, dystopia, dan sedikit intrik politik. Warna gelap mendominasi setiap grafik adegan yang sangat menggambarkan suasana latar dunia yang kelam. Ergo Proxy bercerita tentang seorang inspektur muda bernama Re-L Mayer yang tinggal di kota bernama Romdeau. Dunia pada saat itu sebagian hancur karena suatu percobaan penemuan suatu bahan bakar metana untuk menggantikan bahan bakar fossil. Di Romdeau, semua penduduk termasuk manusia dan AutoReiv (sebutan robot) hidup sejahtera. Walau begitu, virus bernama Cogito menyebar dan menyerang para AutoReiv. Karena virus cogito, AutoReiv memiliki self-awareness seperti manusia dan mulai bertingkah seperti manusia misalnya berdoa, meluapkan emosi, dan lain-lain. Di samping itu, pemerintah kota Romdeau diam-diam mengadakan eksperimen untuk meneliti suatu makhluk yang luar biasa kuat.

Re-L merasa hidupnya sangat membosankan sampai ia bertemu dua makhluk yang sedang diteliti oleh pemerintah. Mereka dinamakan Proxy. Lalu, Re-L ditugaskan untuk menangkap seorang pria misterius bernama Vincent Law yang diduga memiliki hubungan dengan Proxy. Re-L pun bertanya-tanya, siapakah Vincent? Apa kaitan Vincent dengan Proxy? Apakah Proxy itu sebenarnya? Mengapa ada Proxy di dunia ini? Siapakah yang menciptakan Proxy? Dari titik inilah, petualangan Re-L dimulai untuk mencari jawaban dari segudang pertanyaan dan tentu saja, menguak identitas Vincent Law yang sesungguhnya.

Fiuh, Ergo Proxy benar-benar intens dan kaya akan filosofi, metafora, serta alegori. Ketika menonton setiap episode, aku harus sangat memperhatikan setiap dialog agar dapat mengerti apa yang sedang terjadi. Selain itu, nilai plus utama yang dimiliki oleh Ergo Proxy adalah character development yang menakjubkan. Tidak ada protagonis yang murni protagonis dan tidak ada antagonis yang murni antagonis. Karakter-karakter yang ada di Ergo Proxy terbilang manusiawi dan mereka masing-masing memiliki tujuan hidup dan tekad yang kuat, termasuk para AutoReiv. Satu lagi, ending Ergo Proxy sangat sangat sangat keren! Vincent Law berhasil masuk ke dalam daftar karakter anime terfavoritku.

Memang, Ergo Proxy bukanlah anime untuk semua orang. Ergo Proxy bukanlah anime yang bisa dilahap sekali saja, tetapi perlu diresapi dan bahkan dilahap ulang untuk mengerti sejarah, latar tempat dan karakter yang ada di Ergo Proxy. Alur ceritanya pun kadang-kadang membingungkan dan bahkan, ada beberapa episode yang sangat penuh akan filosofi hidup yang implisit. Meski begitu, Ergo Proxy pantas disebut sebagai salah satu anime tentang dystopia yang terbaik. Character development yang patut diacungi jempol, grafik yang bernuansa dark, dan konsep cerita yang baik nan kompleks membuat Ergo Proxy berkesan di hati.

Aku harap aku bisa menemukan anime lain yang tingkatnya setara dengan Ergo Proxy. Menurut website anime seperti myanimelist dan Funimation, Serial Experiments Lain, Psycho-Pass, Steins;Gate, Eden of the East, Neon Genesis Evangelion, Ghost in the Shell (ini sih udah jelas hahaha) mempunyai satu tema dengan Ergo Proxy. Jadi, bagi para pembaca yang menyukai anime-anime di atas, disarankan menonton Ergo Proxy.

Satu hal lagi, opening dan endingnya keren banget astaga. Opening dan ending theme-nya pun sama-sama berbahasa Inggris. Opening theme-nya adalah Monoral - Kiri. Ending theme-nya? Eng ing eng...Radiohead - Paranoid Android. Radiohead di sebuah anime. One of the best things ever.

By the way, Vincent Law is really cool! *fangirls*

Saturday, May 23, 2015

Mad Max: Fury Road Review

"A lovely day! What a lovely day!"


Untuk me-refresh pikiran setelah belajar, aku akan menulis sebuah review film yang sedang booming pada minggu ini. Ya, dari judul postingan blog dan poster yang terpampang sudah terlihat jelas jawabannya yaitu Mad Max: Road Fury. Dibuat oleh sutradara yang juga membuat film Mad Max pada tahun 70-an, Mad Max: Road Fury adalah film action yang berhasil memompa adrenalin penonton selama dua jam pas. Namun, tak hanya ledakan, kejar-kejaran, baku tembak dan hantam yang ditawarkan oleh film yang spektakuler ini. Film ini juga menawarkan plot cerita yang cukup sederhana, tetapi berkesan di hati penonton.

Film ini bertema post-apocalyptic dan dystopia sehabis terjadi banyak perang besar demi memperebutkan sumber daya yaitu minyak dan air. Sebagian besar wilayah di dunia hanya berhamparkan pasir dan limbah. Karena sumber daya yang semakin menipis, masyarakat mulai kehilangan akal dan saling meneror siapapun untuk mendapatkan sumber daya bumi. Kehidupan seorang lelaki bernama Max Rockatansky (diperankan oleh Tom Hardy) yang penuh dengan penyesalan dan depresi, mulai berubah ketika ia diculik oleh segerombolan War Boys dan bertemu seorang wanita tangguh bernama Imperator Furiosa (diperankan oleh Charlize Theron).

Imperator Furiosa menjadi karakter wanita favoritku, sama seperti Motoko Kusanagi dari Ghost in the Shell dan Lightning dari Final Fantasy XIII. Mad Max: Road Fury menghadirkan banyak karakter utama yang ingin berjuang, bertahan hidup, dan mencari keluarga mereka yang terpisah-pisah karena perang besar. Setting dunia yang ada di Mad Max: Road Fury sangat merepresentasikan dunia realita yang memaksa setiap penghuninya untuk terus bertahan hidup dan berjuang, terlepas dari post-apocalyptic dan tema steampunk. Banyak film action yang seperti angin lalu bagiku, tetapi tidak untuk film ini. Jadi, film ini sangat direkomendasikan untuk ditonton. Film ini memiliki komposisi action-packed dan drama yang pas. Tidak ada cliche dan tidak ada humor yang dipaksakan.

Wednesday, March 25, 2015

The Magnificent Complexity of Philosophy

Ada yang bilang bahwa mempelajari filsafat membuat kita dekat dengan Tuhan karena kita mempelajari akar dari segala ilmu. Ada yang bilang bahwa mendalami filsafat menjauhkan kita dari Tuhan karena kita mencari kebenaran. Apakah semua ini hanyalah konstruksi manusia demi tatanan masyarakat? Ataukah, memang benar ada?

Ah, jadi ikutan skeptis begini. Well, kalo kita tidak skeptis, semua informasi rekayasa pun kita telan bulat-bulat. Alasan kenapa aku tiba-tiba membahas filsafat karena aku mengunjungi perpustakaan Fakultas Filsafat sore ini. Aku berniat untuk meminjam buku karangan Fritjof Capra karena ibuku ingin membaca buku itu. Sayangnya, buku-buku yang ada di perpustakaan itu tidak bisa dipinjam.

Dua penjaga perpustakaan itu ngeliat aku kayak alien lagi berkunjung. Canggungnya ga tanggung-tanggung hahaha. Tapi, suasana pun menjadi cair pas aku ngasih tau aku dari kampus mana dan bapak penjaga perpustakaan menjelaskan peraturan mengenai buku-buku yang tidak boleh dipinjam. Aneh, emang ada apaan sampai ga boleh dipinjam begini? Akhirnya, bapak penjaga perpus mempersilakan aku untuk membaca-baca koleksi buku perpustakaan.

Padahal baru lemari pertama aja udah bikin aku tercengang.

Banyak buku-buku yang belum pernah kubaca atau kulihat sebelumnya, tetapi pengarang-pengarangnya benar-benar bikin aku excited. Hegel, Habermas, Leo Tolstoy, Albert Camus, bahkan St. Thomas Aquinas aja ada! Selain itu, ada Al-Quran dalam beberapa bahasa dan Injil (perjanjian lama dan perjanjian baru) dalam beberapa bahasa juga (bahkan, bahasa Sunda juga ada). Selain agama, perpustakaan ini menyimpan buku-buku mengenai filsafat, sains, feminisme, masalah mengenai dogma agama dan sosial, dan masih banyak lagi yang lainnya. Bener-bener betah di situ dan ga kerasa udah jam 3 (kebetulan hujan sudah berhenti turun waktu itu).

Pas pulang, aku disambut dengan latar belakang disertasi milik ibu yang sudah selesai. Filsafat, psikologi, dan fisika. Sub-atomik, hukum ketidakpastian Heisenberg, Schrodinger, fisika kuantum yang dicetus oleh Max Planck, pergerakan elektron, pengobatan...sumpah keren banget. Mudah-mudahan ibu bisa menyelesaikan disertasinya dalam jangka waktu dekat.

Aku merasa benar-benar amazed. Bener-bener takjub sama hal beginian, walaupun aku tidak mempelajari filsafat. Berasa kecil. Berasa kita pada tahun 2015 masih ibarat ngupas kulit apelnya doang. Kita baru nyentuh permukaannya doang. Entahlah, hari ini membuat kepala yang asalnya penat menjadi segar.

There's so many things to explore, to learn, and to experience. We even barely touch the scratch.

Jadi, kembali lagi. Apakah filsafat mendekatkanmu atau menjauhkanmu dari Tuhan? Menurutku, mendekatkan. Sekian (karena aku sudah mengantuk hahaha).